Sejarah Penyebaran Agama Kristen di Indonesia


1. Penyebaran Agama Kristen di Ambon, Maluku
Pada saat VOC menguasai Ambon dan Lease tahun 1605, penduduk daerah itu beragama Katolik yang disebarkan oleh Portugis. Hal ini tidak bisa diterima oleh VOC. Menurut VOC, “mereka yang mempunyai negaralah yang berhak menentukan agama”, sehingga orang-orang Katolik yang baru ditaklukkan itu harus menjadi Protestan. Imam-imam Katolik memang diusir, akan tetapi untuk sementara waktu, mereka tidak diganti. Kegiatan ibadah dan sekolah juga dihentikan karena VOC belum mempunyai tenaga untuk memelihara orang-orang Kristen yang sudah ada maupun mengabarkan Injil kepada orang-orang bukan Kristen.

Benteng VOC hanya memiliki “penghibur orang-orang sakit” yang juga bertugas mengucapkan doa pagi dan doa malam, dan membacakan khotbah yang ditulis oleh seorang pendeta Belanda setiap hari Minggu. Orang yang demikian itu ditempatkan di setiap kapal dan setiap benteng VOC. Mereka tidak diberi pendidikan khusus, dan belum ditugaskan untuk memerhatikan orang-orang Indonesia.
           
Patut diperhatikan bahwa dalam kekosongan ini, orang-orang Ambon tetap mau menjadi orang Kristen. Mereka mendatangi “penghibur orang-orang sakit” yang ditempatkan di benteng itu dan meminta agar ia membaptis anak-anak mereka. Kebetulan para “penghibur orang-orang sakit” itu telah mendapatkan izin untuk melayani sakramen baptisan. Kita boleh menduga bahwa hal ini hanya menyangkut orang-orang Kristen yang tinggal di kampung-kampung sekitar benteng VOC. Negeri-negeri di pegunungan dan di pulau-pulau lain untuk sementara waktu pasti masih terlantar.

Setelah dua tahun, ketika Ambon dikunjungi lagi oleh suatu armada VOC, orang-orang Kristen Ambon meminta agar sekolah dibuka kembali. Permintaan itu dikabulkan dengan diturunkannya Mantri kesehatan dari kapal-kapal armada VOC itu untuk menjadi guru sekolah di Ambon. Mantri-mantri kesehatan yang ditugaskan menjadi guru tersebut mengajari anak-anak membaca, menulis, dan menghitung (semuanya dalam bahasa Belanda). Mereka juga menghafal Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli, dan Dasatitah dalam bahasa Belanda maupun bahasa Melayu.

Dalam masa peralihan yang berlangsung selama beberapa tahun, VOC sibuk mencari tenaga pendeta Belanda di Ambon, hingga akhirnya pada tahun 1612, pendeta pertama datang ke Ambon. Sejak saat itulah, pendeta Belanda terus berdatangan ke Ambon. Pendeta-pendeta itu tinggal di pusat kota Ambon. Setelah jumlah pendeta di Ambon mencukupi, maka ditempatkan 1 orang pendeta di Saparua (1633), dan Haruku (1641). Sementara itu, jemaat yang tidak dilayani secara tetap oleh pendeta mendapat kunjungan dari pusat selama dua atau tiga kali tiap tahunnya.

Orang-orang Kristen di luar pusat kota Ambon tidak hanya mendapat pemeliharaan rohani pada saat mereka dikunjungi oleh pendeta saja. Kehidupan gerejani para jemaat-jemaat di luar pusat kota Ambon itu dijalankan oleh guru-guru sekolah. Guru-guru itu merangkap sebagai guru jemaat. Pada hari Minggu, mereka memimpin ibadah, tetapi mereka tidak berkhotbah sendiri. Mereka hanya membacakan khotbah yang telah disusun oleh seorang pendeta (dalam bahasa Melayu). Selain itu, dalam tiga kali seminggu, mereka mengucapkan doa malam.

Setelah keadaan menjadi tertib, dibentuklah suatu majelis gereja di Ambon (1625). Majelis ini menyelenggarakan pemeliharaan rohani di kota Ambon maupun jemaat-jemaat di luar kota Ambon. Beberapa kali dalam setahun, negeri-negeri di pegunungan Ambon dan pulau-pulau lain yang berjumlah kurang lebih 50, dikunjungi oleh pendeta pusat. Dalam kunjungan tersebut, pendeta itu bertugas menjadi penentu kelulusan ujian sekolah Kristen, melerai pertikaian, melayani Perjamuan Kudus, pembaptisan, dan pemberkatan pernikahan.

Secara garis besar, pemeliharaan rohani agama Kristen di Ambon memiliki dua macam pendekatan. Dalam pendekatan pertama, agama-agama yang bukan Kristen (khususnya agama-agama suku primitif) dipandang sebagai penyembahan iblis. Kebudayaan atau adat istiadat bangsa-bangsa di luar Eropa juga ditolak. Orang-orang Belanda di Ambon pada umumnya tidak berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mempelajari agama dan kebudayaan suku-suku primitif. Mereka lebih puas jika tempat-tempat dan peralatan agama milik suku-suku primitif tersebut itu dirusak. Sementara itu, dalam pendekatan kedua, orang-orang Belanda menerima adat istiadat yang ada dan berusaha membelokkannya sehingga terpegaruh oleh iman Kristen, contohnya adalah dalam masalah mas kawin dan Perjamuan Kudus.

Setelah tahun 1780, kekuasaan VOC merosot dengan cepat, sehingga gereja juga ikut mendapatkan akibatnya, terutama gereja di “daerah pinggir”. Jumlah pendeta di Indonesia berkurang dengan cepat. Di Ambon tinggal satu saja. Antara tahun 1803-1815, tidak ada seorang pendeta di seluruh Maluku. Itu berarti bahwa selama puluhan tahun jemaat-jemaat di luar pusat hampir tidak dikunjungi lagi, dan bahwa selama beberapa tahun, tidak ada khotbah kecuali yang sudah dicetak seabad yang lalu. Selama waktu itu, seluruh kehidupan gereja dijalankan oleh para guru sekolah. Baru pada tahun 1815, dengan kedatangan Joseph Kam, mulailah zaman baru bagi gereja di Maluku.

2. Penyebaran Agama Kristen di Jawa
A. Penyebaran Agama Kristen oleh Orang Eropa non Gereja
Gereja di Jawa pada awalnya tidak melakukan pengabaran Injil (penyebaran agama Kristen). Selain itu, negara juga tidak mengizinkan lembaga-lembaga pengabaran Injil dari Eropa untuk melakukan pengabaran Injil, sehingga pengabaran Injil di Jawa dilakukan oleh beberapa orang Kristen perorangan non-gereja. Mereka di antaranya ada yang hidup di kota, dan ada juga yang hidup di daerah pedalaman.

Bapa Emde (1774-1859), adalah salah satu contoh orang Kristen non gereja yang melakukan pengabaran Injil di Surabaya. Bapa Emde menggunakan media berupa selebaran-selebaran pengabaran Injil yang berbahasa Jawa. Selebaran-selebaran itu ditempelkan di tempat-tempat ramai dan disodorkan kepada orang-orang yang kebetulan lewat. Mula-mula, pekerjaan Emde tersebut tidak banyak membawa hasil. Pendeta GPI di Surabaya malah memandang dia sebagai saingan dan mengadukannya kepada pemerintah, sehingga akibatnya, Emde harus meringkuk di dalam penjara selama beberapa tahun.

Sementara itu, di Jawa Timur juga telah muncul pusat penyiaran agama Kristen yang kedua, yaitu Ngoro (Jombang). Pemimpinnya adalah Coolen (1775-1873). Cara Coolen melakukan pengabaran Injil cukup luwes. Dia mengabarkan Injil dengan memberinya corak budaya Jawa. Misalnya, jika ada seseorang yang hendak membajak sawahnya, Coolen diminta untuk membuka alur pertamanya. Maka, ia memegang alat pembajak sambil menyanyikan tembang-tembang Jawa yang merupakan doa Kristen. Selain itu, setiap hari Minggu, Coolen mengadakan kebaktian di pendopo rumahnya sendiri. Ia berdoa dan membacakan suatu pasal dari Alkitab, lalu diikuti oleh para jemaatnya yang bernyanyi dan berdoa dengan tembang Jawa. Selanjutnya, sepanjang Minggu, orang-orang menghabiskan waktunya dengan bermain gamelan, wayang, dan zikir, yakni mengulang-ulangi rumus-rumus kristen (Doa Bapa Kami dan sebagainya) dengan cara seperti yang yang dilakukan oleh oleh para santri Islam. Coolen juga mengangkat seorang pengantar jemaat yang disebut Kyai penghulu, dan dua orang Penatua.

Terdapat perbedaan dalam pengabaran Injil yang dilakukan Emde dan Coolen. Emde menolak semua kebudayaan Jawa yang masuk ke Kristen. Sementara itu, Coolen menyebarkan Kristen dengan bentuknya yang telah disesuaikan dengan kebudayaan Jawa. Ada juga tokoh yang mengambil garis tengah antara Emde dan Coolen, yaitu Jellesma (1817-1858). Jellesma lebih bersifat selektif (memilih) antara kebudayaan Jawa mana saja yang dapat dimasukkan ke dalam unsur Kristen, dan tata cara Kristen mana saja yang sesuai dan tidak sesuai dengan budaya Jawa. Cara yang dilakukan oleh Coolen ini juga banyak menginspirasi pengabar-pengabar Injil lainnya di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Menurut mereka, cara yang dilakukan Coolen ini lebih efektif untuk mendekati rakyat yang masih kental dengan unsur kejawennya.

B. Penyebaran Agama Kristen oleh Orang Pribumi
Selain dilakukan oleh orang Eropa, pengabaran Injil di Jawa juga dilakukan oleh orang-orang pribumi. Para tokoh Kristen pribumi Jawa tersebut antara lain Paulus Tosari (1813-1882), Tunggul Wulung (1803-1884), dan Sadrach (1840-1924).

Paulus Tosari, adalah seorang pengabar Injil pribumi Jawa yang merupakan murid dari Coolen. Pada waktu di Ngoro, Tosari ditugaskan untuk memimpin perkumpulan pada hari Minggu dan Kamis malam. Bersama Jellesma, Tosari giat melakukan pengabaran Injil dengan bentuk Kristen Jawa.

Tunggul Wulung, adalah seorang yang dibaptis oleh Jellesma dan diberi nama Ibrahim. Banyak para Zending dan pengabar Injil yang terkejut dengan unsur Jawa dalam gaya kekristenan Tunggul Wulung. Dalam ajarannya, Tunggul Wulung menyajikan Injil sebagai sebuah “ilmu”. Tunggul Wulung melakukan dzikir seperti umat Islam, memakai cara seorang dukun dalam mengobati orang sakit dengan menggunakan rumus-rumus Kristen seperti Doa Bapa Kami sebagai mantra. Bagi Tunggul Wulung, peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam Alkitab, termasuk kelahiran Yesus Kristus, tidak perlu ditafsirkan secara harafiah. Peristiwa-peristiwa tersebut mempunyai arti rahasia yang diwujudkan dalam batin orang-orang percaya.

Berkat usaha para orang Jawa itu sendiri, pada tahun 1860-an, sudah banyak orang pribumi yang memeluk agama Kristen. Mereka kebanyakan berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Jemaat-jemaat Kristen ini pada umumnya mempunyai corak Jawa yang nyata.
  
C. Sinkretisme Agama Kristen di Jawa
Seperti halnya Islam, agama Kristen di Jawa juga mengalami sinkretisme. Sinkretisme agama Kristen ini bisa dilihat dalam berbagai hal, seperti misalnya:
1) Penggunaan tembang-tembang Jawa yang isinya merupakan doa-doa dalam rumus Kristen, dan penggunaan media wayang dalam pengabaran Injil, dianggap sebagai penyimpangan oleh sebagian para pengabar Injil. Padahal, itu merupakan cara yang efektif untuk merangkul rakyat yang masih terikat dengan budaya dan tradisi Jawa. Jika melakukan pengabaran Injil tanpa memahami situasi budaya lokal setempat, hal tersebut sangat berbahaya karena bisa-bisa agama Kristen tidak akan diterima. Rakyat butuh pendekatan yang halus. Hal itu sah-sah saja asalkan nilai-nilai tradisi kejawen tersebut tidak melanggar dasar-dasar ajaran agama Kristen.

2). Penggunaan dzikir dengan menggunakan rapalan-rapalan Kristen. Ada unsur sinkretisme dalam dzikir ini, yaitu percampuran agama (sinkretisme) antara Kristen dan Islam. Zikir dalam Islam yang merupakan doa-doa dalam bahasa Arab, diganti dengan rapalan-rapalan Kristen dalam bahasa Jawa. Intinya tetap sama, yaitu memuji keagungan Tuhan.

3). Penggunaan cara-cara seperti dukun untuk mengobati orang sakit dengan menggunakan Doa Bapa Kami dan sebagainya. Hal ini merupakan ajaran dari Tunggul Wulung. Dalam ajaran Kristen Eropa, cara pengobatan seperti itu tidak ada. Pengobatan seperti ini merupakan sinkretisme Kristen-Jawa. Dalam budaya Jawa, dukun memang dianggap sebagai tokoh yang disegani karena dapat menyembuhkan orang sakit. Mantra-mantra yang dilafalkan oleh dukun adalah mantra-mantra Jawa, dan karena adanya sinkretisme, maka mantra-mantra Jawa tersebut diganti dengan doa-doa Kristen.

Sumber:
Th. van den End. 1987. Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia 1500 – 1860. Medan: BPK Gunung Mulia.
Previous
Next Post »