Pada akhir abad ke-18, terjadi suatu perubahan besar di Eropa, yaitu peristiwa revolusi Prancis dan diangkatnya Napoleon Bonaparte sebagai Kaisar Prancis. Sebagai pimpinan Prancis, Napoleon mulai melakukan agresi ke seluruh penjuru Eropa, termasuk ke negeri Belanda. Belanda takluk setelah diserang Prancis pada tahun 1794-1795. Januari 1795, secara resmi, Belanda jatuh ke tangan Prancis dan dengan segera didirikanlah pemerintahan boneka di sana.
VOC
sebagai pemegang kekuasaan di Hindia Belanda mengalami serangkaian penyelidikan
yang dilakukan pemerintah Belanda sendiri terkait dengan kebangkrutan yang
dialaminya. Hal itu berujung pada dibubarkannya VOC pada tahun 1800. Sehingga
dengan demikian, secara resmi tampuk kekuasaan beralih dari VOC ke tangan
pemerintah Belanda. Pemerintahan baru ini disebut republik Bataaf.
Tahun
1806, Napoleon mengangkat Louis Napoleon sebagai penguasa di negeri Belanda.
Louis Napoleon sebagai penguasa baru di negeri Belanda mengirimkan Herman
Willem Daendels ke Jawa. Daendels tiba di Jawa pada tahun 1806. Segera setelah
sampai di Jawa, dia mulai bekerja dengan melakukan serangkaian program
kebijakan-kebijakan baru, seperti merombak total sistem administrasi,
memperbarui sistem peradilan, dan kebijakan-kebijakan lainnya yang secara langsung
atau tidak langsung, membawa perubahan besar di Hindia Belanda. Menarik untuk
dilihat mengenai kiprah Daendels di Hindia Belanda ini dengan menampilkan sisi
lain dari seorang Daendels yang dianggap sebagian orang sebagai sosok kejam.
Keadaan
di Jawa Menjelang Dibubarkannya VOC
Pada
periode tahun 1790-an, hubungan antara Jawa dengan Belanda dapat dikatakan
stabil. Nyaris tidak ada konflik di antara keduanya. Dalam bidang pemerintahan,
dapat dilihat bahwa pihak Belanda berkuasa langsung atas daerah pesisir utara,
tetapi dalam kenyataannya, para penguasa lokal (bupati) yang bertindak sebagai
wakil Belanda. Pada wilayah pedalaman, hubungan antara pihak Belanda dengan
kerajaan-kerajaan di Jawa hanya berbentuk persekutuan belaka. Para residen
Belanda di istana-istana Kerajaan Jawa hanya bertugas sebagai duta saja, bukan
sebagai penguasa atau penjajah (Ricklefs, 2005:242-245).
VOC
yang bertugas sebagai wakil Belanda di Jawa sudah hampir bangkrut. Hal itu
menyebabkan pemerintah Belanda melakukan serangkaian penyelidikan terhadap VOC.
Sehingga, pada tanggal 1 Januari 1800 (Ricklefs, 2005:242-245), VOC sebagai
penguasa di Nusantara secara resmi dibubarkan setelah pemerintah Belanda
berhasil mengungkap kebangkrutan, korupsi, dan skandal yang dilakukan oleh VOC.
Wilayah-wilayah yang awalnya menjadi daerah kekuasaan VOC diserahkan kepada
pemerintah Belanda. Dengan dibubarkannya VOC, Hindia Belanda diwariskan kepada
pemerintah di Negeri Belanda yang saat itu disebut Bataafsche Republik. Penguasa yang dipercaya
untuk mengurus Tanah Jajahan di Asia termasuk Hindia Belanda (dengan pulau Jawa
sebagai pusatnya) adalah Raad
van Asiatische Besittingen en Establisement yang bertanggung jawab
kepada Dewan Eksekutif Rebublik.
Pengangkatan
Daendels Sebagai Gubernur Jenderal
Belanda
jatuh ke tangan Prancis setelah serangan bertubi-tubi yang dilakukan Prancis
dalam kurun waktu Desember 1794 hingga Januari 1795. Segera setelah Belanda
jatuh, Prancis membuat pemerintahan boneka di sana dengan membubarkan
pemerintahan Heeren XVII dan menggantinya dengan sebuah komite baru. Tahun 1806
(Ricklefs, 2005:242-245), Napoleon mengangkat Louis Napoleon sebagai penguasa
di negeri Belanda. Louis Napoleon sebagai penguasa baru di negeri Belanda
mengirimkan Herman Willem Daendels ke Hindia Belanda guna mengamankan daerah
itu dari serangan Inggris. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa
Inggris merupakan musuh besar Prancis. Belanda yang telah jatuh ke tangan
Prancis secara tidak langsung menyebabkan negeri itu menjadi musuh Inggris.
Louis Napoleon butuh figur untuk dapat mengamankan pulau Jawa yang merupakan
sentral kekuasaan Belanda di kawasan samudera Hindia dan Asia Tenggara.
Daendels
adalah seorang pemuja prinsip–prinsip pemerintahan yang revolusioner. Dia
membawa suatu gagasan pembaruan dengan berusaha untuk memberantas
ketidakefisienan, penyelewengan, dan korupsi yang terjadi terutama di Jawa yang
menjadi pulau sentral kekuasaan Belanda. Pada tanggal 1 Januari 1808, Daendels
tiba di pelabuhan kecil dekat Banten. Setelah sampai di Batavia, dia kemudian
memutuskan untuk meninggalkan kota yang menurutnya tidak sehat itu dan pindah
ke Buitenzorg (Bogor). Daendels kemudian mulai bekerja memangkas korupsi,
menata administrasi, dan menata jalan serta benteng.
Program
Kerja Daendels
1.
Bidang Pertahanan
Bidang
pertahanan merupakan persoalan utama yang dihadapi Daendels. Daendels
dihadapkan pada lemahnya angkatan bersenjata dan pertahanan Jawa terhadap
serangan Inggris. Karenanya Daendels membuat dua kebijakan mendesak untuk
memperkuat pertahanan Hindia-Belanda. Kebijakan pertama yang dilakukan Daendels
dalam bidang pertahanan adalah melakukan rekruitmen terhadap kaum pribumi untuk
dilatih menjadi militer (milisi). Kebanyakan serdadu Bumiputera tersebut
berasal dari Manado, Jawa, dan Madura. Dengan demikian ia berhasil menambah
jumlah angkatan bersenjatanya mencapai 18.000 hingga 20.000 serdadu.
Hampir
semua bidang dijamah oleh rencana Daendels untuk mendukung kelengkapan dalam
bidang militer tersebut. Misalnya saja, untuk menyediakan perlengkapan seragam
militer, para petani dipaksa memintal benang dan menenun kain. Para pembuat gamelan di Semarang diubah
menjadi pekerja pabrik mesiu untuk keperluan senjata. Sentra pengrajin
peralatan dapur tembaga di Gresik diubah menjadi pabrik senjata. Koningsplein (Lapangan
Merdeka) dijadikan tempat pelatihan militer, dan sebuah pangkalan angkatan laut
dibangun di Surabaya (Prakitri, 2006:89-96).
Sementara
itu, kebijakan kedua yang dilakukan Daendels dalam bidang pertahanan adalah pembangunan Grote Postweg (Jalan Raya
Pos) Anyer sampai Panarukan. Jalan yang panjangnya kurang lebih 1000 km ini
dibangun untuk mendukung mobilitas militer, terutama menjaga pos-pos pertahanan
penting di sepanjang pantai utara Jawa (Prakitri, 2006:89-96)999. Daendels juga
memberlakukan kerja rodi
untuk pembangunan proyek raksasa tersebut. Waktu yang mendesak serta banyaknya
tenaga yang dibutuhkan untuk pembangunan jalan tersebut menyebabkan kerja rodi menjadi
pilihan bagi Daendels.
Keberadaan
Jalan Raya Pos tersebut (sekarang dikenal dengan Jalur Pantura) tidak hanya
memberikan keuntungan di bidang militer saja, tetapi membawa arti penting bagi
mobilitas ekonomi, sosial, bahkan politik. Dalam bidang ekonomi misalnya,
semakin banyak hasil produk kopi dari pedalaman Priangan yang diangkut ke pelabuhan
Cirebon dan Indramayu (sebelumnya tidak pernah terjadi dan produk itu membusuk
di gudang-gudang kopi Sumedang, Limbangan, Cisarua dan Sukabumi). Dalam bidang
perhubungan misalnya, transportasi menjadi semakin mudah dan lancar. Jarak
antara Surabaya-Batavia yang sebelumnya ditempuh 40 hari bisa dipersingkat
menjadi 7 hari. Hal ini sangat bermanfaat bagi pengiriman surat yang dikelola
oleh dinas pos. Mulai sejak saat itulah, nama jalan raya proyek Daendels ini
dikenal dengan nama “jalan raya pos”.
2.
Bidang Politik
Kebijakan
pertama yang dilakukan Daendels dalam bidang politik adalah reformasi
administrasi secara total. Daendels mengangkat semua bupati Jawa menjadi
pejabat pemerintah Belanda untuk melindungi mereka dari pemerasan yang
dilakukan oleh pejabat Belanda. Dewan Hindia yang memegang posisi penting dalam
struktur pemerintahan kolonial Belanda tidak boleh lagi ikut berkuasa. Badan
ini hanya menjadi embel-embel kekuasaan gubernur Jenderal (Prakitri,
2006:89-96).
Daendels
berusaha keras melaksanakan pemusatan kekuasaan. Menurut Daendels, kekuasaan
pejabat yang diwariskan VOC terlalu besar sehingga mudah untuk memperkaya diri
dengan cara melakukan korupsi. Daendels melaksanakan maksudnya dengan menghapus
Gubernemen
Pantai Jawa Timur Laut. Selain itu, Residen Kerajaan Jawa yang berada di bawah
Gubernur diambil alih oleh pemerintah pusat Batavia. Daerah Jawa di luar
kerajaan Surakarta dan Yogyakarta dibagi menjadi sembilan daerah administratif
yang disebut dengan Prefektorat, yang kelak pada masa pemerintahan Raffles
diubah dengan nama Gewest
(Karesidenan).
3.
Pemberantasan Sistem Feodal
Daendels
menjalankan pemerintahannya dengan memberantas sistem feodal yang pada awalnya
sangat diperkuat oleh VOC. Hak-hak Bupati mulai dibatasi untuk mencegah penyalahgunaan
kekuasaan, terutama yang menyangkut penguasaan tanah dan pemakaian tenaga
rakyat. Status Raja yang selama masa VOC dianggap sebagai sekutu, diturunkan
menjadi pegawai biasa. Penurunan status ini menyebabkan terhapusnya tanda
kehormatan para Raja, seperti payung dan kereta kebesaran (Kartodirdjo,
1992:291-292). Pada masa pemerintahan Gubernur-gubernur sebelum Daendels, para
Residen Belanda diperlakukan sama seperti para penguasa daerah yang menghadap
raja-raja Jawa, yaitu dengan duduk di lantai dan mempersembahkan sirih sebagai
tanda hormat kepada Raja Jawa. Menurut Daendels, Residen tidak layak lagi
diperlakukan seperti itu. Daendels yang berpikiran rasional menganggap sikap
terlalu menghormati Raja adalah sesuatu yang berlebihan.
Daendels
kemudian membuat beberapa peraturan untuk menjelaskan kepada rakyat bahwa
kekuasaan tertinggi berada di Batavia, bukan di tangan Raja-raja. Residen (pada
masa pemerintahan Daendels disebut menteri) berhak duduk sejajar dengan Raja,
memakai payung seperti Raja, tidak perlu membuka topi atau mempersembahkan
sirih kepada raja, dan harus disambut oleh raja dengan berdiri dari tahtanya
ketika Residen datang ke keraton. Pada saat Residen bertemu di tengah jalan
dengan Raja, Residen tidak perlu turun dari kereta, tetapi cukup membuka
jendela kereta dan boleh berpapasan dengan kereta Raja.
4.
Sekulerisasi Pemerintahan
Daendels
adalah seorang sekuler. Hal ini dapat dilihat pada keputusannya memisahkan
kekuasaan negara dan kekuasaan agama. Meskipun demikian, lembaga-lembaga agama
tetap disubsidi, dengan demikian, Agama Katolik juga kembali diperbolehkan
berkembang di Nusantara.
5.
Perombakan Sistem Peradilan
Daendels
merombak organisasi dan praktik pengadilan Batavia dengan melakukan pemisahan
kelompok penduduk yang berbeda dalam urusan peradilan. Pengadilan berada mulai
dari tingkat kabupaten hingga Prefektorat yang anggotanya terdiri dari
Bumiputera dan dua orang Belanda. Pengadilan-pengadilan ini akan menghakimi
setiap kasus yang melibatkan orang Jawa berdasarkan hukum adat dan istiadat
Jawa. Sementara itu, semua kasus yang melibatkan orang asing (orang Eropa,
Cina, Arab, Bumiputera non Jawa) akan ditangani oleh Dewan Peradilan
berdasarkan undang-undang Hindia Belanda. Pengadilan ini didirikan di Batavia,
Semarang, dan Surabaya (Vlekke, 2008:275-285).
5.
Pengisian Kas Negara untuk Pembiayaan Negara
Semua
langkah Daendels dalam bidang pertahanan, administrasi negara, dan sisitem
peradilan tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi komoditas
perdagangan dari dalam negeri tidak bisa dijual dan menumpuk di gudang
pelabuhan akibat blokade laut yang dilakukan Inggris.
Daendels
kemudian mencari cara lain, salah satunya adalah dengan menghidupkan kebiasaan
lama VOC, yaitu menjual tanah kepada pihak swasta dan memberikan hak
kepemilikan. Daendels sebenarnya banyak menjual tanah luas di wilayah barat dan
timur Batavia, akan tetapi, transaksi terbesarnya adalah penjualan seluruh
wilayah yang kini bernama kabupaten Probolinggo di Jawa Timur kepada orang
Cina, Han Ti Ko sebesar tiga setengah juta gulden.
Reaksi
Terhadap Kebijakan Daendels dan Berakhirnya Pemerintahan Daendels
Reaksi
terhadap beberapa kebijakan Daendels yang memberatkan penguasa lokal terjadi di
beberapa daerah, dan yang paling keras terjadi di Banten. Pekerja rodi yang
menolak membangun pelabuhan Merak melarikan diri ke hutan. Residen Banten yang
datang menuntut pertanggungjawaban Sultan, dibunuh sehingga menyebabkan
Daendels marah besar. Istana Sultan Banten dihancurkan dan hartanya dijarah.
Sultan ditangkap dan dibuang ke Ambon. Daendels kemudian menunjuk keponakan
Sultan sebagai penggantinya.
Hal
yang sama juga terjadi di Yogyakarta, ketika Sultan Hamengkubuwono menolak
diangkatnya Danurejo II sebagai Patih. Sultan Hamengkubuwono malah mengangkat
Pangeran Natakusumah yang menyebabkan Daendels menggempur Yogyakarta pada
tanggal Desember 1810. Sultan Hamengkubuwono II diganti oleh putranya
(Hamengkubuwono III) dan Belanda mendapatkan ganti rugi biaya perang sebanyak
500.000 gulden.
Pengaruh
kebijakan yang diterapkan oleh Daendels dalam bidang politik sangat berbekas,
terutama mengenai kebijakan penghapusan upacara kehormatan Raja-raja di Jawa
yang menimbulkan menimbulkan kebencian mendalam, baik dari kalangan penguasa
daerah, rakyat, maupun orang-orang Belanda sendiri. Keputusan Daendels yang
menghapus penghapusan penghormatan kepada Raja-raja di Jawa dianggap sebagai
perendahan martabat. Daendels seperti meruntuhkan teori kekuasaan masyarakat
Jawa yang menitikberatkan pada simbolisme raja sebagai sentral kekuasaan. Kebencian
rakyat terhadap Daendels disebabkan penyerahan paksa tanaman kopi dan kerja
rodi tanpa upah untuk pembangunan jalan raya pos yang menimbulkan kerugian
materi serta korban jiwa. Sementara itu, para pembesar Belanda yang juga
membenci Daendels antara lain seperti gubernur pesisir timur laut Jawa
(wilayahnya mencakup Cirebon sampai ujung timur Jawa), Nicolaas Engelhardt yang
jabatannya dihapus Daendels, panglima angkatan laut Arnold Adriaan Buykens dan
Letkol Johannes van den Bosch yang dipecat hanya gara-gara Daendels jengkel
kepada keduanya (Prakitri, 2006:89-96).
Pada
tahun 1810, Kaisar Napoleon mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa negeri
Belanda masuk ke dalam Imperium Prancis. Berita itu sampai ke Hindia Belanda
dan disambut dengan senang hati oleh Daendels. Meskipun demikian, akibat
tindakannya yang terlalu otoriter, maka Napoleon memutuskan untuk memanggil
pulang Daendels pada tahun 1811 dan menggantikannya dengan orang yang lebih
moderat, yaitu Jan Willem Janssens. Daendels meninggalkan Jawa ketika sistem
pertahanan yang dirintisnya belum kuat, sehingga pada tanggal 18 September
1811, Janssens menyerah akibat serangan dari Inggris. Peta kekuasaan pun
akhirnya berpindah tangan dari Belanda ke Inggris, sehingga dengan demikian,
Hindia Belanda praktis menjadi milik Inggris. Pada saat pemerintahan Inggris
inilah, muncul suatu periode baru dalam sejarah Hindia Belanda, yaitu periode
Liberal.
DAFTAR
RUJUKAN
Prakitri,
S. 2006. Menjadi Indonesia.
Jakarta: Kompas.
Ricklefs,
M.C. 2005. Sejarah Indonesia
Modern (1200-2004). Terjemahan Satrio
Wahono
dkk. 2005. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Vlekke,
B. 1961. Nusantara: Sejarah
Indonesia. Terjemahan Samsudin Berlian. 2008. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon