Dinamika Kehidupan Orang Cina di Batavia (1619-1740)

Sebelum kedatangan orang Belanda, orang Cina di Nusantara hidup damai dengan penduduk setempat. Mereka hidup membaur dengan saling membawa budaya masing-masing. Orang Cina hidup dengan berdagang. Peranan pedagang Cina dengan Nusantara bersifat komplementer atau saling melengkapi. Ketergantungan antara keduanya dapat dilihat pada komoditas perdagangan Cina seperti barang-barang dari porselin, barang pecah belah, produk-produk laut, dan kain sutera. Sementara itu, komoditas  perdagangan dari Indonesia berupa kapur barus, getah damar (Sumatra), lada (Jawa Barat, Lampung, dan daerah Sumatra lainnya), beras, kayu cendana, kemenyan (Jawa), rempah-rempah (Maluku dan Banda) serta sarang burung dan penyu dari Indonesia Timur (Anshoriy, 2008:16-17).

Orang Cina memegang peranan perdagangan di berbagai pelabuhan di Indonesia, salah satunya di Banten. Peranan yang besar sebagai penebas dan perantara tersebut begitu tampak pada perdagangan lada di Banten dengan volume pembelian 18.000 karung lada. Hal ini tentu saja terlampau jauh dibandingkan pedagang lainnya seperti pedagang Gujarat yang hanya membeli 3.000 karung lada (Kartodirjo, 1992:79-80).

Orang-orang Cina memang menikmati hubungan yang erat dengan Banten, paling tidak pada abad XII dan XIII. Mayoritas dari mereka berasal dari pesisir Cina Selatan yang pada awalnya datang untuk berdagang ke Banten. Banyak di antara mereka yang memutuskan untuk tinggal dan mencari penghidupan di Banten. Pengaruh mereka kemudian berkembang memasuki semua sektor ekonomi. Mulai dari memasarkan hasil bumi,bertani, tukang kayu, pandai besi, pembuat garam, dan pembuatan bata.

Pada masa itu, masyarakat Cina berdiam di sebuah kampung yang dikelilingi pohon bambu  yang kelak terkenal dengan sebutan “bambu Cina” (Setiono, 2003:92-96). Pelabuhan Banten merupakan sebuah pelabuhan yang ramai dikunjungi para pedagang mancanegara. Pada bulan Februari hingga April, para pedagang Cina berdatangan untuk membeli hasil bumi, terutama lada dan kopra.

Peranan orang Cina di Banten semakin besar dengan menduduki jabatan-jabatan administrasi, tukang timbang, dan kegiatan perbankan dengan memberi pinjaman untuk jual beli komoditi. Dalam bidang pertanian, orang-orang Cina di Banten di bawah pimpinan Souw Beng Kong mengajarkan petani-petani setempat untuk menanam padi di sawah yang berpetak-petak dengan menggunakan pematang dan membajak serta mengairinya. Sebelumnya, para petani di Banten hanya menanam padi di ladang yang sudah tentu hasilnya kurang memuaskan.

Pada saat Jan Pieterszoon Coen berhasil merebut Jayakarta pada 1619, Coen melakukan pendekatan kepada orang Cina di Banten melalui perantara Souw Beng Kong. Coen dalam laporannya kepada Heeren XVII (Ratu Belanda) menyatakan bahwa  “siapapun yang berniat membangun dan memperluas pengaruh Belanda, harus bekerjasama dengan orang-orang Cina, karena mereka adalah bangsa yang ulet, rajin, dan suka bekerja”. Pada laporannya tersebut, Coen juga menjelaskan bahwa watak orang Cina itu berlawanan dengan orang pribumi yang berwatak pemalas, tidak mudah diatur, dan tidak mudah dipercaya.

Setelah melalui berbagai proses pendekatan, maka orang-orang Cina di bawah pimpinan Souw Beng Kong dan Lim Lak berangsur-angsur pindah ke Batavia. Sejak saat itulah, pelabuhan Banten mulai ditinggalkan para pedagang mancanegara dan pusat perdagangan berpindah ke Batavia.

Kehidupan Sosial Masyarakat Cina di Batavia Pasca Migrasi
Gelombang pertama sebanyak 170 keluarga Cina dari Banten memasuki kota Batavia. Setelah gelombang pertama tersebut sudah tiba di Batavia, Coen kemudian mengangkat Souw Beng Kong sebagai Kapiten Cina di Batavia secara resmi pada 11 Oktober 1619 (Setiono, 2003:92-96). Tugas Souw Beng Kong sebagai Kapiten adalah mengurusi urusan sipil, mengatasi berbagai keributan kecil sesama orang Cina, dan  melakukan semacam sensus dengan mencatat data-data orang Cina yang tinggal di Batavia. Souw Beng Kong dibantu oleh seorang sekretaris bernama Gouw Cay. Kedua pimpinan orang Cina ini tidak diberi gaji, tetapi diberi hak untuk menarik cukai sebesar 20% dari pajak judi yang dikenakan pemerintah kepada para pachter (penyelenggara rumah judi) di Batavia. Rumah-rumah judi di Batavia ini memang sengaja dipelihara pemerintah VOC, dengan tujuan untuk menarik uang dari para budak dan kuli kontrak yang sangat kecanduan judi.

Jumlah penduduk Cina di Batavia pun semakin meningkat dengan pesat. Apabila pada tahun 1619 jumlah orang Cina di Batavia hanya berjumlah 400 orang (Setiono, 2003:92-96), maka pada tahun 1622, jumlahnya bertambah menjadi 1.000 orang. Mereka pada umumnya hidup dengan berdagang dan bertani. VOC juga telah memberikan kebebasan kepada orang Cina untuk membangun tempat tinggalnya di manapun mereka suka. Daerah perumahan berkembang dengan cepat, baik di dalam kota maupun luarnya.

Kehidupan Ekonomi Masyarakat Cina di Batavia
Hampir semua kegiatan bernilai ekonomis di Batavia diserahkan VOC pada orang Cina. Kegiatan ekonomi tersebut antara lain mengumpulkan dan berdagang paruh dan sarang burung, cula badak, kapur barus, intan serta batu berharga lainnya, pengadaan dan perdagangan sirih, pinang, gambir, ikan, arak, dan anggur (Prakitri, 2006:47-49) serta semua segala jenis bisnis eceran. Arak kualitas terbaik adalah buatan orang Cina. Mereka  mengembangkan penyulingan arak yang dibuat dari beras yang difermentasikan, tetes tebu, dan nira (Setiono, 2003:60-61). Arak buatan orang Cina di Batavia laku keras. Konsumennya adalah para orang Eropa beserta pegawai VOC, dan rumah-rumah judi.

Izin usaha yang pertama kali diberikan VOC kepada orang Cina adalah pada 1 November 1620 (Prakitri, 2006:47-49). Izin itu memberi kuasa kepada orang-orang Cina untuk menimbang semua barang dagangan yang masuk ke Batavia dari berbagai wilayah di Nusantara. Pada 2 Juni 1622 (Prakitri, 2006:47-49), VOC juga telah menerbitkan izin untuk mengoperasikan rumah potong dan memungut pajak atas produk-produk hewani tersebut.

Dalam bidang pertanian, orang-orang Cina telah berjasa menemukan teknik baru pengolahan padi, yaitu berupa alat penyosoh padi yang dengan menggunakan dua sampai tiga ekor sapi dapat mengolah sampai 500 ton padi per hari. Alat penyosoh padi ini secara berangsur-angsur telah menggantikan sistem tumbuk tradisional memakai lesung yang hanya menghasilkan 100 ton per hari. Selain itu, orang-orang Cina juga memperkenalkan pompa berpedal, pemeras kelapa, serta teknik pembuatan garam (Setiono, 2003:60-61).

Orang-orang Cina yang berdiam di luar tembok Batavia mulai mengembangkan perkebunan tebu dan industri gula. Penggilingan tebu dilakukan secara sederhana, yaitu dengan menaruh dua tabung kayu yang diputar oleh seekor sapi dengan perantaraan sebuah roda gigi serta sebuah poros sepanjang 4,5 meter. Kedua tabung tersebut tegak lurus, kemudian batang tebu dimasukkan ke dalamnya dan diperas dua kali untuk mendapatkan sebanyak mungkin sarinya. Sari tebu tersebut kemudian dipanaskan untuk dijadikan gula (Setiono, 2003:60-61).

Industri gula memainkan peranan penting dan sangat menyegarkan perekonomian Batavia. Hampir keseluruhan usaha budidaya gula tebu ada di tangan orang-orang Cina. Apalagi setelah mendapat izin dari VOC, maka jumlah perkebunan tebu banyak bertebaran di sekitaran Batavia, sehingga pada tahun 1710 sudah terdapat sebanyak 130 pabrik gula milik 84 orang pengusaha (79 milik orang Cina, 4 orang Belanda, dan 1 orang Jawa). Semua tenaga kerja dan pabrik-pabrik milik Cina pada umumnya terletak semakin jauh dari Batavia. Pabrik-pabrik gula tersebut berada di luar kekuasaan Kapiten Cina dan pembantu-pembantunya di kota, dan ditempatkan di bawah pengawasan langsung sherif Belanda beserta bawahannya, Pothia, yaitu orang Cina usahawan pabrik gula. Setiap tahunnya pothia itu membayar pajak kepada Kapiten Cina (Blusse, 2004:165-171).

Timbulnya masalah dan Terjadinya Konflik
Membanjirnya tenaga kerja dari Cina berakibat semakin banyaknya masalah, sehingga tidak dapat diatasi dengan prosedur yang telah diciptakan untuk itu. VOC berusaha menghalang-halangi pemasokan emigran-emigran Cina tersebut dengan  menetapkan kuota emigran sejak tahun 1690 (Blusse, 2004:165-171) dan berusaha memengaruhi nahkoda-nahkoda jung. Upaya ini ternyata hanya memberikan jalan bagi para nahkoda jung untuk menyuap para pejabat pelabuhan yang mempunyai hubungan erat dengan para penguasa pabrik gula. Emigran Cina didaratkan di pulau Seribu atau sepanjang pantai utara Jawa yang tidak terlalu jauh dari Batavia agar bebas dari patroli, menghindari pendataan Kapiten Cina, dan mengecoh kuota emigrasi. Semakin banyak tenaga kerja ilegal masuk ke Batavia, maka semakin besar pula keuntungan yang dipetik oleh para pengusaha pabrik Gula itu. Hal ini disebabkan karena emigran-emigran Cina tersebut tidak terdaftar, sehingga para pengusaha gula tidak perlu membayar pajak perseorangan.

Masalah juga timbul pada saat pemerintah Batavia (VOC) memainkan politik harga gula. Pada saat permintaan gula turun, VOC menyesuaikan harga pembelian sesuka hati, hingga langsung memukul perkebunan-perkebunan gula di Batavia. Dalam suratnya yang  bertanggal 2 Maret 1705 (Blusse, 2004:165-171), Heeren XVII masih menganjurkan agar perdagangan gula digalakkan dengan berbagai cara. Jatuhnya dinasti Sofi di Persia tahun 1722 mengakibatkan hilangnya langganan terbesar VOC di Asia. Sejak saat itulah, perdagangan gula tidak lagi merupakan usaha yang menguntungkan bagi VOC, dan tentu saja para produsen gula Cina menjadi pihak pertama yang menanggung kerugian (Blusse, 2004:165-171).

Sejak masa pemerintahan Gubernur Jenderal Diederik Durven dan seterusnya, kehidupan semakin menjadi semakin susah bagi orang-orang Cina, tidak hanya dalam usaha pabrik gula saja. Golongan penduduk Cina kehilangan kedudukan istimewanya dan diperas melalui kenaikan pajak, pabean, dan bermacam-macam pungutan liar. Kekecewaan itu mulai timbul di kalangan orang Cina, sehingga menyebabkan terjadinya suatu pemberontakan. Pemberontakan yang tidak matang itu tentu saja dapat ditumpas oleh VOC. Semuanya menjadi tragis ketika penumpasan itu diikuti pula oleh apa yang dinamakan “penyembelihan Cina”, yaitu peristiwa pembunuhan orang Cina di seluruh Batavia tahun 1740.

Peristiwa pembunuhan orang-orang Cina tersebut mengakibatkan kerugian besar yang tidak hanya dialami oleh orang-orang Cina saja, melainkan juga bagi perekonomian kota Batavia pada umumnya. Setelah kejadian tersebut, orang-orang Cina yang selamat dan masih hidup tidak mau melakukan kegiatan apapun. Mereka hanya berdiam di dalam rumah saja. Kegiatan ekonomi di Batavia dengan sendirinya merosot tajam dan sangat merugikan pemerintahan VOC di Batavia.

DAFTAR RUJUKAN
Anshoriy, N. 2008. Bangsa Gagal: Mencari Identitas Kebangsaan. Yogyakarta: LkiS.
Blusse, L. 2004. Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC. Yogyakarta: LkiS.
Kartodirjo, S. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: dari Emporium sampai Imperium Jilid I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Prakitri, S. 2006. Menjadi Indonesia. Jakarta: Kompas.
Setiono, B. 2003. Tonghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa.
Previous
Next Post »