Sebelum
kedatangan orang Belanda, orang Cina di Nusantara hidup damai dengan penduduk
setempat. Mereka hidup membaur dengan saling membawa budaya masing-masing.
Orang Cina hidup dengan berdagang. Peranan pedagang Cina dengan Nusantara
bersifat komplementer atau saling melengkapi. Ketergantungan antara keduanya
dapat dilihat pada komoditas perdagangan Cina seperti barang-barang dari
porselin, barang pecah belah, produk-produk laut, dan kain sutera. Sementara
itu, komoditas perdagangan dari
Indonesia berupa kapur barus, getah damar (Sumatra), lada (Jawa Barat, Lampung,
dan daerah Sumatra lainnya), beras, kayu cendana, kemenyan (Jawa),
rempah-rempah (Maluku dan Banda) serta sarang burung dan penyu dari Indonesia Timur (Anshoriy, 2008:16-17).
Orang
Cina memegang peranan perdagangan di berbagai pelabuhan di Indonesia, salah satunya di Banten.
Peranan yang besar sebagai penebas dan perantara tersebut begitu tampak pada perdagangan lada di Banten
dengan volume pembelian 18.000 karung lada. Hal
ini tentu saja terlampau jauh dibandingkan
pedagang lainnya seperti pedagang Gujarat yang hanya membeli 3.000 karung lada
(Kartodirjo, 1992:79-80).
Orang-orang
Cina memang menikmati hubungan yang erat
dengan Banten, paling tidak pada
abad XII dan XIII. Mayoritas
dari mereka berasal dari
pesisir Cina Selatan yang
pada awalnya datang untuk berdagang ke Banten. Banyak di antara
mereka yang memutuskan untuk tinggal dan mencari penghidupan di Banten. Pengaruh
mereka kemudian berkembang memasuki semua sektor ekonomi. Mulai dari memasarkan
hasil bumi,bertani, tukang kayu, pandai besi, pembuat garam, dan pembuatan
bata.
Pada
masa itu, masyarakat Cina berdiam di sebuah kampung yang dikelilingi pohon
bambu yang kelak terkenal dengan sebutan
“bambu Cina” (Setiono, 2003:92-96).
Pelabuhan Banten merupakan sebuah pelabuhan yang ramai dikunjungi para pedagang
mancanegara. Pada bulan Februari hingga April, para pedagang Cina berdatangan
untuk membeli hasil bumi, terutama lada dan kopra.
Peranan
orang Cina di Banten semakin besar dengan menduduki jabatan-jabatan
administrasi, tukang timbang, dan kegiatan perbankan dengan memberi pinjaman
untuk jual beli komoditi. Dalam bidang pertanian, orang-orang Cina di Banten di
bawah pimpinan Souw Beng Kong mengajarkan petani-petani setempat untuk menanam
padi di sawah yang berpetak-petak dengan menggunakan pematang dan membajak
serta mengairinya. Sebelumnya, para petani di Banten hanya menanam padi di
ladang yang sudah tentu hasilnya kurang memuaskan.
Pada saat Jan Pieterszoon Coen
berhasil merebut Jayakarta pada 1619, Coen melakukan pendekatan kepada orang
Cina di Banten melalui perantara Souw Beng Kong. Coen dalam laporannya kepada
Heeren XVII (Ratu Belanda) menyatakan bahwa
“siapapun yang berniat membangun dan memperluas pengaruh Belanda, harus
bekerjasama dengan orang-orang Cina, karena mereka adalah bangsa yang ulet,
rajin, dan suka bekerja”. Pada laporannya
tersebut, Coen juga menjelaskan
bahwa watak orang Cina itu
berlawanan dengan orang pribumi yang berwatak pemalas, tidak mudah diatur, dan tidak
mudah dipercaya.
Setelah melalui berbagai proses pendekatan, maka orang-orang Cina di bawah pimpinan
Souw Beng Kong dan Lim Lak berangsur-angsur pindah ke Batavia. Sejak saat itulah, pelabuhan Banten mulai
ditinggalkan para pedagang mancanegara dan pusat perdagangan berpindah ke
Batavia.
Kehidupan Sosial Masyarakat
Cina di Batavia Pasca Migrasi
Gelombang
pertama sebanyak 170 keluarga Cina dari Banten memasuki kota Batavia. Setelah gelombang pertama tersebut sudah tiba di Batavia,
Coen kemudian mengangkat Souw Beng Kong sebagai Kapiten Cina di Batavia secara resmi pada
11 Oktober 1619 (Setiono, 2003:92-96). Tugas Souw Beng Kong sebagai
Kapiten
adalah mengurusi urusan sipil, mengatasi berbagai keributan kecil sesama orang
Cina, dan melakukan semacam sensus
dengan mencatat data-data orang Cina yang tinggal di Batavia. Souw Beng Kong dibantu oleh
seorang sekretaris bernama Gouw Cay. Kedua pimpinan orang Cina ini tidak diberi
gaji, tetapi diberi hak untuk menarik cukai sebesar 20% dari pajak judi yang
dikenakan pemerintah kepada para pachter (penyelenggara
rumah judi) di Batavia. Rumah-rumah judi di Batavia ini memang sengaja
dipelihara pemerintah VOC, dengan tujuan untuk menarik uang dari para budak dan
kuli kontrak yang sangat kecanduan judi.
Jumlah penduduk Cina di
Batavia pun semakin meningkat dengan
pesat. Apabila pada tahun 1619 jumlah
orang Cina di Batavia hanya berjumlah 400 orang (Setiono, 2003:92-96), maka pada tahun
1622, jumlahnya bertambah menjadi
1.000 orang. Mereka pada umumnya hidup dengan berdagang dan bertani. VOC juga telah memberikan kebebasan kepada orang Cina
untuk membangun tempat tinggalnya di manapun mereka suka. Daerah perumahan
berkembang dengan cepat, baik di dalam kota maupun luarnya.
Kehidupan Ekonomi Masyarakat
Cina di Batavia
Hampir semua kegiatan
bernilai ekonomis di Batavia diserahkan
VOC pada orang Cina. Kegiatan
ekonomi tersebut antara lain mengumpulkan dan berdagang paruh dan sarang
burung, cula badak, kapur barus, intan serta batu berharga lainnya, pengadaan
dan perdagangan sirih, pinang, gambir, ikan, arak, dan anggur (Prakitri, 2006:47-49)
serta semua segala jenis bisnis eceran. Arak kualitas terbaik adalah buatan
orang Cina. Mereka mengembangkan
penyulingan arak yang dibuat dari beras yang difermentasikan, tetes tebu, dan
nira (Setiono, 2003:60-61).
Arak buatan orang Cina di Batavia laku keras. Konsumennya adalah para orang
Eropa beserta pegawai VOC, dan rumah-rumah judi.
Izin
usaha yang pertama kali diberikan VOC kepada orang Cina adalah pada 1 November
1620 (Prakitri, 2006:47-49). Izin itu memberi kuasa kepada orang-orang Cina
untuk menimbang semua barang dagangan yang masuk ke Batavia dari berbagai
wilayah di Nusantara. Pada
2 Juni 1622 (Prakitri, 2006:47-49), VOC juga telah menerbitkan
izin untuk mengoperasikan rumah potong dan memungut pajak atas produk-produk
hewani tersebut.
Dalam
bidang pertanian, orang-orang Cina telah berjasa menemukan teknik baru
pengolahan padi, yaitu berupa alat
penyosoh padi yang dengan menggunakan dua sampai tiga ekor sapi dapat mengolah
sampai 500 ton padi per hari. Alat penyosoh
padi ini secara berangsur-angsur telah menggantikan
sistem tumbuk tradisional memakai lesung yang hanya menghasilkan 100 ton per
hari. Selain itu, orang-orang Cina juga memperkenalkan pompa berpedal, pemeras
kelapa, serta teknik pembuatan garam (Setiono, 2003:60-61).
Orang-orang
Cina yang berdiam di luar tembok Batavia mulai mengembangkan perkebunan tebu
dan industri gula. Penggilingan
tebu dilakukan secara sederhana, yaitu dengan menaruh dua tabung kayu yang
diputar oleh seekor sapi dengan perantaraan sebuah roda gigi serta sebuah poros
sepanjang 4,5 meter. Kedua tabung tersebut tegak lurus, kemudian batang tebu
dimasukkan ke dalamnya dan diperas dua kali untuk mendapatkan sebanyak mungkin
sarinya. Sari tebu tersebut kemudian dipanaskan untuk dijadikan gula (Setiono, 2003:60-61).
Industri
gula memainkan peranan penting dan sangat menyegarkan perekonomian Batavia.
Hampir keseluruhan usaha budidaya gula tebu ada di tangan orang-orang Cina.
Apalagi setelah mendapat izin dari VOC, maka jumlah perkebunan tebu banyak
bertebaran di sekitaran Batavia, sehingga pada tahun 1710 sudah terdapat
sebanyak 130 pabrik gula milik 84 orang pengusaha (79 milik orang Cina, 4 orang Belanda, dan 1
orang Jawa).
Semua tenaga kerja dan pabrik-pabrik milik Cina pada umumnya terletak semakin
jauh dari Batavia. Pabrik-pabrik gula tersebut berada di luar kekuasaan Kapiten
Cina dan pembantu-pembantunya di kota, dan ditempatkan di bawah pengawasan
langsung sherif Belanda beserta
bawahannya, Pothia, yaitu orang Cina
usahawan pabrik gula. Setiap tahunnya pothia
itu membayar pajak kepada Kapiten
Cina (Blusse, 2004:165-171).
Timbulnya masalah
dan Terjadinya Konflik
Membanjirnya tenaga kerja
dari Cina berakibat semakin banyaknya masalah, sehingga tidak dapat diatasi
dengan prosedur yang telah diciptakan untuk
itu. VOC berusaha menghalang-halangi pemasokan emigran-emigran Cina tersebut dengan menetapkan kuota emigran sejak tahun 1690 (Blusse,
2004:165-171) dan
berusaha memengaruhi nahkoda-nahkoda jung.
Upaya ini ternyata hanya memberikan jalan bagi
para nahkoda jung untuk
menyuap para pejabat pelabuhan yang mempunyai hubungan erat dengan para
penguasa pabrik gula. Emigran Cina didaratkan di pulau Seribu atau sepanjang pantai utara Jawa yang tidak terlalu jauh dari Batavia agar bebas
dari patroli, menghindari
pendataan Kapiten
Cina, dan mengecoh kuota emigrasi. Semakin banyak tenaga kerja
ilegal masuk ke Batavia, maka semakin besar pula keuntungan yang
dipetik oleh para pengusaha pabrik Gula itu. Hal
ini disebabkan karena emigran-emigran Cina tersebut tidak terdaftar, sehingga para pengusaha gula tidak perlu membayar pajak
perseorangan.
Masalah juga timbul pada saat pemerintah
Batavia (VOC) memainkan politik harga
gula. Pada saat permintaan gula turun, VOC
menyesuaikan harga pembelian sesuka
hati, hingga langsung
memukul perkebunan-perkebunan gula
di Batavia. Dalam suratnya yang bertanggal
2 Maret 1705 (Blusse, 2004:165-171), Heeren XVII masih menganjurkan agar
perdagangan gula digalakkan dengan berbagai cara. Jatuhnya dinasti Sofi di Persia tahun 1722
mengakibatkan hilangnya langganan terbesar VOC di Asia. Sejak saat itulah, perdagangan
gula tidak lagi merupakan usaha yang menguntungkan bagi VOC, dan tentu saja para produsen gula Cina menjadi pihak pertama yang
menanggung kerugian (Blusse, 2004:165-171).
Sejak
masa pemerintahan Gubernur
Jenderal Diederik Durven dan seterusnya, kehidupan semakin menjadi semakin
susah bagi orang-orang Cina, tidak hanya dalam usaha pabrik gula saja. Golongan
penduduk Cina kehilangan kedudukan istimewanya dan diperas melalui kenaikan
pajak, pabean, dan bermacam-macam pungutan liar. Kekecewaan itu mulai timbul di kalangan orang
Cina, sehingga menyebabkan terjadinya suatu pemberontakan. Pemberontakan yang tidak
matang itu tentu saja dapat
ditumpas oleh VOC. Semuanya menjadi tragis ketika penumpasan itu diikuti pula
oleh apa yang dinamakan “penyembelihan Cina”, yaitu peristiwa pembunuhan orang Cina
di seluruh Batavia tahun 1740.
Peristiwa pembunuhan orang-orang Cina tersebut
mengakibatkan kerugian besar yang tidak hanya
dialami oleh orang-orang Cina saja, melainkan juga bagi perekonomian kota
Batavia pada umumnya. Setelah kejadian
tersebut, orang-orang Cina yang
selamat dan masih hidup tidak
mau melakukan kegiatan apapun. Mereka hanya berdiam di dalam rumah saja. Kegiatan ekonomi di Batavia dengan sendirinya merosot
tajam dan sangat merugikan pemerintahan VOC di Batavia.
DAFTAR RUJUKAN
Anshoriy,
N. 2008. Bangsa Gagal: Mencari Identitas
Kebangsaan. Yogyakarta: LkiS.
Blusse, L. 2004. Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita
Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC. Yogyakarta: LkiS.
Kartodirjo,
S. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru
1500-1900: dari Emporium sampai Imperium Jilid I. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Prakitri,
S. 2006. Menjadi Indonesia. Jakarta:
Kompas.
Setiono,
B. 2003. Tonghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon