Peristiwa
Malari terjadi saat Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke
Jakarta pada tanggal 14-17 Januari 1974 (Adam, 2010:222). Mahasiswa
merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara
Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil
menerobos masuk pangkalan udara. Kemudian meletuslah kerusuhan, penjarahan, dan
pembakaran produk-produk Jepang di Pasar Senen
dan beberapa tempat lain di Jakarta.
Dalam
peristiwa tersebut, tercatat 807 mobil dan 187 sepeda motor yang dirusak dan
dibakar. Selain itu, sekitar 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang
ditahan. Sebanyak 144 buah bangunan rusak berat dan 160 kg emas hilang dari
sejumlah toko perhiasan (Adam, 2010:222).
B. Tindakan Pemerintah Pasca
Malari
Pemerintah
mengawasi peristiwa ini dengan sangat serius. Pada 17 Januari, kerusuhan bisa
diredakan. Untuk pertama kalinya, alih-alih menuduh orang-orang komunis sebagai
pihak yang bertanggung jawab dalam kerusuhan itu, pemerintah mengalamatkan
kecamannya kepada para mantan aktivis Masyumi dan PSI. Kopkamtib menahan 770
orang, hampir semuanya dibebaskan pada bulan Mei 1976 (Ricklefs, 2008:619-620).
Namun, tiga tokoh mahasiswa dijebloskan ke dalam penjara dengan bukti yang
meragukan. Di antara orang yang ditahan adalah Mochtar Lubis. Surat kabarnya, Indonesia Raya, ditutup, seperti juga Pedoman, Abadi, dan delapan surat kabar lainnya.
Setelah
terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan tersebut, Soeharto
membuat beberapa keputusan, yaitu:
1) Memberhentikan Soemitro dari
jabatannya sebagai Pangkopkamtib dan mengambil alih jabatan tersebut Sudomo
sebagai kepala stafnya.
2) Kepala BAKIN Soetopo Juwono diganti oleh Yoga Sugomo.
3) Aspri (asisten pribadi) Presiden dibubarkan (Adam, 2010:223).
2) Kepala BAKIN Soetopo Juwono diganti oleh Yoga Sugomo.
3) Aspri (asisten pribadi) Presiden dibubarkan (Adam, 2010:223).
Bagi
Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 mencoreng keningnya sebagai sebagai
Presiden karena peristiwa itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM Jepang.
Malu yang tak tertahankan itu menyebabkan ia untuk selanjutnya sangat waspada
terhadap semua orang atau golongan
tertentu serta melakukan sanksi tak
berampun terhadap pihak yang mengusik pemerintah. Selanjutnya, ia amat selektif
memilih pembantu dekatnya, antara lain dengan kriteria "pernah jadi ajudan
Presiden". Segala upaya dijalankan untuk mempertahankan dan melanggengkan
kekuasaan, baik secara fisik maupun secara mental.
Selanjutnya,
peristiwa Malari
ini membawa dampak pemberian label bahaya terhadap setiap gerakan mahasiswa.
Buahnya adalah UU No. 028/1078 (NKK/Normalisasi Kegiatan Kampus) dan UU No.
156/1979 (BKK/ Badan Koordinasi Kampus), yang intinya tentang peraturan yang
membatasi dan menjauhkan mahasiswa dari keterlibatan aktivitas sosial dan politik.
Posisi ini membuat gerakan mahasiswa
terhenti dan sangat terbatas karena terus menerus diawasi oleh pemerintah. Jadi,
dapat dikatakan bahwa peristiwa Malari
dapat disebut sebagai salah satu tonggak sejarah kekerasan Orde Baru.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon