Perkembangan teknologi rancang bangun di Indonesia sudah dikenal sejak masa praaksara. Hal ini bisa dibuktikan oleh beberapa
peninggalan bangunan kebudayaan Megalithikum yang tersebar di Indonesia, seperti
misalnya punden
berundak. Punden berundak itu sendiri merupakan tempat pemujaan dari susunan batu-batu andesit yang dibentuk secara bertingkat. Punden berundak sebagai salah satu jenis arsitektur bangunan pemujaan
purba menginspirasi
pembuatan bangunan pemujaan pada masa selanjutnya, yaitu masa Hindu dan Buddha. Pada masa
kerajaan Hindu dan Buddha inilah, berkembang suatu jenis arsitektur bangunan
keagamaan yang dikenal dengan nama “candi”. Pada awalnya, istilah candi ini secara umum
digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk menyebut bangunan ibadah dan tempat pemujaan peninggalan agama
Hindu dan Buddha. Namun pada perkembangan selanjutnya, istilah candi digunakan
secara lebih luas dan tidak
hanya digunakan untuk menyebut tempat ibadah agama Hindu dan Buddha saja,
melainkan juga untuk menyebut
istana (misalnya candi Ratu Boko), petirtaan atau pemandian (misalnya candi Tikus), gapura (misalnya candi gerbang Bajang Ratu di Trowulan), serta monumen tempat pendarmaan (seperti candi Kidal).
Pada dasarnya, pembangunan sebuah candi memiliki beberapa ketentuan, salah satunya terdapat dalam suatu kitab yang bernama Silpasastra dari India. Beberapa ketentuan tersebut antara
lain menyatakan
bahwa bangunan suci sebaiknya didirikan di dekat air (terutama di dekat pertemuan
2 buah sungai, danau, laut). Bahkan
kalau tidak ada air, harus
dibuat kolam buatan atau meletakkan sebuah jambangan berisi air di dekat pintu
masuk bangunan suci tersebut. Selain di dekat air, tempat terbaik mendirikan
sebuah candi adalah di
puncak bukit, di lereng gunung, di hutan, dan di
lembah.
Secara garis
besar, ada 2 bahan utama yang biasanya
digunakan sebagai bahan pokok pembuatan
candi, yaitu:
1. Batu Andesit
Sebagian besar candi di Indonesia menggunakan bahan ini. Alasan pemilihan batu Andesit sebagai bahan utama candi dikarenakan
sifat batu Andesit yang keras namun mudah
untuk dibentuk, sehingga
mampu bertahan lama. Selain itu, batu jenis ini mudah ditemukan
dan banyak tersebar luas di Indonesia. Contoh
candi yang menggunakan batu Andesit
sebagai bahan utama adalah candi
Borobudur, Prambanan, Penataran, serta candi Jawi.
2. Batu Merah
Penggunan batu merah sebagai bahan utama pembuatan candi banyak terdapat di Jawa Timur. Contoh candi yang menggunakan batu
merah sebagai bahan utama adalah candi Bajang Ratu di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
Sementara itu,
mengenai sistem
tata letak dan dasar-dasar perancangan candi (Vastu Purusha Mandala), ada 2 sistem
yang biasanya digunakan, yaitu:
1. Sistem Konsentris atau Terpusat (hasil pengaruh dari
India), yaitu posisi candi induk berada di tengah anak-anak candi (candi Perwara). Contoh candi yang menggunakan sistem Konsentris ini adalah candi Prambanan.
2. Sistem Berurutan
(hasil kreasi asli Indonesia), yaitu posisi candi
induk berada di belakang anak–anak candi. Contoh candi yang menggunakan sistem
Konsentris ini adalah candi Penataran.
Pada dasarnya, bangunan candi pada umumnya terdiri dari tiga bagian
utama, yaitu Bhurloka (bagian bawah
candi yang melambangkan kehidupan dunia fana), Bhuvarloka (bagian inti candi yang melambangkan tahap pembersihan dan
pemurnian jiwa), serta Svarloka
(bagian paling
atas yang melambangkan tempat para dewa).
Ciri utama candi
Hindu adalah adanya Ratna (hiasan
berbentuk bunga teratai yang masih kuncup) di puncaknya, relief (ukiran-ukiran
yang membentuk suatu seri cerita atau ajaran) di dinding-dindingnya, arca dewa Trimurti, Durgamahisasuramardini, Agastya,
serta Ganesha. Sementara itu, ciri
utama candi Buddha adalah banyaknya patung Buddha dengan atribut sederhana
serta bangunan Stupa dengan patung
Buddha di dalamnya. Apabila diperhatikan dengan seksama, di kening patung
Buddha selalu terdapat bintik kecil yang disebut Urna, yaitu sebuah simbol mata ketiga yang mampu memandang ke dunia
ilahi (Nirwana).
Tempat persebaran
Candi yang paling banyak di Indonesia berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal
ini diasumsikan karena memang di kedua provinsi inilah, berbagai kerajaan Hindu
dan Buddha lahir. Soekmono
mengidentifikasi perbedaan gaya arsitektur (langgam)
antara candi Jawa Tengah
dengan candi Jawa Timur (candi
tipe
Sumatra dan Bali
dikategorikan
ke dalam langgam tipe Jawa Timur). Meskipun demikian, ada beberapa pengecualian
dalam penggelompokan langgam
candi tersebut. Contohnya seperti bahan baku
pembuatan candi Penataran, Jawi, Jago, Kidal, dan candi Singhasari yang secara jelas masuk dalam kelompok langgam Jawa Timur, tetapi bahan bakunya
menggunakan batu
andesit, sama dengan ciri candi langgam
Jawa Tengah. Bentuk candi Prambanan adalah ramping seperti halnya langgam candi Jawa Timur, tetapi susunan dan bentuk
atapnya menggunakan langgam Jawa
Tengah. Lokasi candi juga tidak menjamin kelompok gaya arsitekturnya, misalnya Candi Badut yang terletak
di Malang, Jawa Timur. Candi Badut ini memiliki model langgam Jawa Tengah yang berasal
dari kurun waktu lebih tua, yaitu
di abad ke-8 masehi.
Sementara itu, dalam kelompok langgam Jawa Tengah itu sendiri,
terdapat dua jenis langgam, yaitu langgam Jawa Tengah Utara (misalnya kelompok Candi Dieng)
dan Jawa Tengah Selatan
(misalnya kelompok Candi Sewu). Candi Jawa Tengah Utara memiliki ukiran yang lebih sederhana,
bangunannya lebih kecil, dan kelompok candinya lebih sedikit. Sementara itu, langgam candi Jawa Tengah
Selatan memiliki ukiran yang lebih kaya dan mewah,
bangunannya lebih megah, serta candi dalam kompleksnya lebih banyak dengan tata
letak teratur.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon