Doktrin
keagungbinataraan dipegang dan
menjadi dasar kekuasaan raja-raja Mataram. Hal itu tidak terlepas dari pengaruh
konsep kekuasaan Jawa. Konsep kekuasaan Jawa ini sangatlah dipengaruhi oleh kepercayaan
orang Jawa bahwa raja adalah jelmaan dari dewa dan memiliki kekuatan mutlak.
Pada masa Hindu-Budha, konsep kekuasaan ini disebut dengan istilah Dewaraja. Ketika Islam masuk ke Nusantara,
konsep tersebut tidak sejalan dengan khalifatullah
(wakil Tuhan di dunia), Maka, cara untuk membuat kekuasaan raja mutlak dan diterima
oleh rakyat hanya dengan menyatakan bahwa raja adalah satu-satunya perantara
dengan Tuhan.
Konsep
kekuasaan Jawa tidak terlepas dari kawula
gusti yang diwarnai oleh pemikiran bahwa segala sesuatunya telah
ditakdirkan oleh Allah. Berdasarkan hubungan kawula gusti, pada masyarakat Jawa terdapat dua golongan masyarakat, yaitu wong cilik (orang biasa) dan penggede (bangsawan). Pada dasarnya, prinsip hubungan kawula gusti memiliki
peranan untuk melancarkan hubungan antar manusia. Dalam prinsip ini, raja
merupakan golongan panggede dan juga
sebagai wakil Tuhan di dunia. Sebagai wakil Tuhan di dunia, apa yang
dikehendaki raja harus dipatuhi oleh wong cilik karena
pada hakekatnya apa yang menjadi kehendak raja adalah kehendak dari Tuhan. Wong cilik yang
terima akan nasibnya harus menuruti apa yang dikehendaki oleh rajanya (gusti). Berdasarkan prinsip tersebut,
raja-raja Mataram yang menganggap dirinya sebagai wakil Tuhan di dunia dapat
memanfaatkan kawulanya. Sementara itu, Kawula dituntut untuk menurut,
patuh, dan setia terhadap gustinya.
Dalam menjalankan
pemerintahannya, Sultan Agung sebagai raja Mataram selalu berpegang teguh pada doktrin Gung Binatara yang menyatakan
bahwa raja Mataram adalah raja yang agung
dan binatara, baudenda nyakrawati (agung laksana dewa, pemelihara hukum dan
pemegang kekuasaan).
Besarnya
kekuasaan raja ditandai dengan luasnya wilayah kekuasaan. Besarnya kekuasaan
juga ditandai dengan luasnya daerah taklukan dan persembahan. Semakin luas
daerah taklukan, maka semakin luas pula wilayah kekuasaan raja Mataram.
Pelaksanaan doktrin Gung Binatara
akan menghasilkan negeri ingkang apanjang
apunjung, pasir wukir loh jinawi, gemah ripah karta tur raharja, yang
artinya negara tersohor karena wibawanya besar, luas wilayahnya ditandai oleh
pegunungan sebagai latar belakang, sedangkan di depannya terdapat sawah yang
luas, sungai yang mengalir, dan di pantainya terdapat pelabuhan.
Berdasarkan
doktrin keagungbinataraan yang
diemban raja-raja Mataram, Sultan Agung berusaha untuk mewujudkan cita-cita
yang terkandung dalam doktrin tersebut. Seperti yang telah dijelaskan di atas
bahwa dalam doktrin keagungbinataraan, terkandung konsep bahwa besarnya kekuasaan ditandai
dengan luasnya wilayah kekuasaan. Konsep tersebut bisa diwujudkan dengan cara
mempersatukan seluruh pulau Jawa di bawah panji Mataram.
Secara garis
besar, pelaksanaan doktrin keagungbinataraan pada masa
pemerintahan Sultan Agung dapat dibedakan menjadi tiga periode, yaitu:
1. Periode
pendobrak serta penegas ke dalam (1614-1627)
Pada
periode ini, Sultan Agung mengambil tindakan penyatuan wilayah dengan
melakukan ekspansi ke daerah yang berusaha melepaskan diri dari kekuasaan
Mataram dan juga melakukan ekspansi ke daerah-daerah yang belum takluk kepada
Mataram.
Penegasan
politik ke dalam terlebih dahulu diterapkan di daerah timur Jawa dengan
perhitungan bahwa daerah-daerah di Jawa bagian timur mempunyai basis ekonomi
yang mampu menandingi Mataram. Daerah yang berhasil ditaklukkan pada periode
ini adalah:
1) Wirasaba
(1615)
2) Lasem
(1616)
3) Pasuruhan
(1617)
4) Tuban
(1619)
5) Madura
(1624)
6) Surabaya
(1625)
2) Perode
pemakluman serta penegasan ke luar (1628-1629)
Pada periode ini,
Sultan Agung berusaha untuk menunjukkan keberadaan Mataram pada bangsa asing
yang ada di Indonesia, yaitu VOC yang berkedudukan di Batavia. VOC dianggap
menghalang-halangi pelaksanaan doktrin keagungbinataraan. Selain itu, VOC telah
menyalahgunakan fasilitas yang telah diberikan Sultan Agung kepada VOC. Pada
awalnya, antara Mataram dan VOC memang terjalin suatu kerjasama yang baik. Akan tetapi, VOC
telah mengingkari janjinya sendiri. Hal tersebut membuat Sultan Agung marah dan
memutuskan untuk menyerang VOC di Batavia. Penyerangan Sultan Agung ke Batavia
terjadi dua kali, yaitu tahun 1628 dan 1629.
Serangan
pertama pada tahun 1628 mengalami kegagalan. Sultan Agung berusaha menyerang
Batavia lagi tahun 1629, tetapi serangan kedua ini juga mengalami kegagalan.
Kegagalan penyerangan ke Batavia sebanyak dua kali tersebut membuat Sultan
Agung berusaha menegaskan kembali doktrin keagungbinataraan
demi pulihnya kewibawaan Mataram, dan ditegaskan kembali pada periode
berikutnya.
3. Periode
penggalang serta penegasan nasionalistis (1630-1645)
Pada
periode ini, Sultan Agung kembali melakukan ekspansi ke daerah-daerah
yang belum tunduk kepada Mataram. Ekspansi yang dilakukan Sultan Agung diarahkan kepada
kerajaan Blambangan. Bagi Sultan Agung, Blambangan harus segera ditaklukkan
demi tegaknya doktrin keagungbinataraan.
Apalagi, kerajaan Blambangan masih satu-satunya kerajaan Hindu yang ada di tanah
Jawa dan memiliki hubungan dekat dengan Bali. Beda dengan ekspansi-ekspansi ke
daerah lain, ekspansi ke Blambangan juga ditunggangi motif Islamisasi, karena
pada masa itu Blambangan dan Bali merupakan daerah yang belum memeluk Islam dan
bahkan menentang masuknya Islam.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon